previous | next
 
 
 

TOPENG
untuk Danarto
/1/

Ia gemar membuat topeng. Dikupasnya
wajahnya sendiri satu demi satu
dan digantungkannya di dinding. “Aku
ingin memainkannya,” kata seorang sutradara.

Malam hari, ketika lakon dimainkan,
ia mencari wajahnya sendiri di antara topeng-
topeng yang mendesah, yang berteriak,
yang mengaduh: tapi tak ada. Ternyata ia masih

harus mengupas wajahnya sendiri satu demi satu.


/2/

“Di mana topengku?” tanyanya, entah kepada
siapa. Dalam kamar rias: cermin retak, pemerah
pipi, dan bedak berceceran di mana-mana;
dan tak ada topeng. “Di mana

topengku?” tanyanya. Tegangan listrik yang rendah,
sarang laba-laba di langit-langit,
dan obat penenang di telapak tangan. Tak ada
topeng itu. Mungkin maksud sutradara: Sang Tiran

harus menciptakan topeng dari wajahnya sendiri.


/3/

Tapi topeng tak boleh menjelma manusia;
ia, tentu saja, hafal sabda raja
dan sekarat hulubalang. Ia kenal benar sorot mata
dan debar jantung penonton. Ia, ya Allah,

tak pernah tercantum dalam buku acara,
tak menerima upah, dan digantung saja di dinding
jika lakon usai. Tinggal berdua di belakang panggung
yang ditinggalkan, sutradara tak juga menegurnya.

Ia tak berhak menjadi manusia.
MASK
for Danarto
/1/

He loves crafting masks. He keeps skinning
his own face over and over again
and hangs them up on the wall. “I would like
to use them in my production,” a director says.

Tonight, when the play is performed,
he looks for his own face among
the whispering, shouting, groaning
masks: it’s not there. It turns out that he

still has to skin his own face over and over again.


/2/

“Where is my mask?” he asks no one
in particular. In the make-up room: broken mirror,
rouge and powder scattered around;
but the mask is not there. “Where

is my mask?” he asks. Low voltage electricity,
cobwebs on the ceiling
and a tranquilizer in his palm. But no
mask. Perhaps the director implies that

the Tyrant has to skin his own face to get the mask.


/3/

But the mask has no right to become human;
it has certainly memorized the king’s decree
and lived through the commander’s last agony. It is familiar with
the spectators’ gapes and heartbeats. Oh, my Lord,

never mentioned in the program book,
nor on the payroll—it’s just hung on the wall
after the play is done. Even when there are only the two
of them on the empty stage, the director remains indifferent.

The mask has no right to become human.