Tentang Seorang yang Terbunuh di Sekitar Hari Pemilihan Umum
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”
Seperti jadi senyap salak anjing ketika ronda menemukan mayatnya di tepi pematang. Telungkup. Seperti mencari harum dan hangat padi. Tapi bau asing itu dan dingin pipinya jadi aneh, di bawah bulan. Dan kemudian mereka pun berdatangan—senter, suluh, dan kunang-kunang—tapi tak seorang pun mengenalinya. Ia bukan orang sini, hansip itu berkata.
“Berikan suara-Mu.”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya?
“Juru Peta yang Agung, di manakah tanah airku?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman pertama. Ada seorang yang menangis entah mengapa. Ada seorang yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin kemudian. Lihatlah. Dia udara berpasang layang-layang, semua bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat-kawat, sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”