previous
 
 
 

Malam Pembredelan
Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam masih ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.

Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu, sambil bersiul dan sesekali berlagu.

“Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”

Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.

“Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda.”

“Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara.”

“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.”

“Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.”

Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.

Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
“Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya.”

Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
Night Raid
The gang of killers, who had surrounded his house,
shivered in rain that since early evening
had prepared to witness his death.
The night was somber,
like a young man forced to rush off to the harbor
leaving behind beautiful moments, full of memories.

He was calm, wanting only peace,
when facing the final moments of destruction.
He was dressed in white, with his hair combed neatly
and his face immaculate. Whistling and singing occasionally,
he even had the time to finish the last of the coffee
in his purple cup.

“Welcome. I’ve already prepared everything
you came here to seize and destroy:
words, voices, or whatever it is you’re afraid of,
but which I don’t actually possess.”

He stood in the doorway,
staring at the killers’ faces, one by one.
They trembled and looked around hesitantly.

“Excuse us, we’re rather nervous.
You’re braver, it turns out, than we expected.
We can see words forming a bold line
around your eyes.”

“Thanks, you can still make jokes
and pretend to humor me.
Quick, do your job, or your words
will come back to haunt you.”

“All right, then, permit us to confiscate the words
that you’ve prepared so willingly.
We’ll do our best to annihilate them.”

“No problem, they’re only words.
I have something more awesome than words.”

Speechless, the pack of killers marched home,
their frightful shapes, their savage faces,
swallowed by the night and the rain.

Meanwhile, on hundreds of deserted and lonely magazine
pages, words moved cheerfully about, as in a quiet-filled
garden, because, as he had written in red ink:
“Words are like butterflies competing for flowers,
or flowers competing for color,
or color competing for light,
or light competing for the heavens,
or the heavens competing for me.”

He slept soundly then, when outside
another pack of killers surrounded his house.